Pernah aku begitu
merasa dekat.
Dengan orang-orang
yang saat itu rasanya tepat.
Kita membuat waktu selalu
sempat.
Menengadah, menyelasar
matahari keempat.
____
Mungkin awalnya Agustus. Aih,
aku tidak tahu pasti.
Tapi saat itu, bermain serta
belajar rasanya semakin seru saja dengan perkumpulan empat kepala tiga
belas-empat belas yang berbahagia. Ketika malam kami berkumpul di kamar,
menonton video, mengobrol, dan menggelar kasur di lantai.
Kemudian ketika waktu menandakan
pukul sebelas atau dua belas —setelah mengobrol muluk-muluk, kami memejam mata,
dan bangun di pagi hari karena ingat kami punya janji.
Walau itu Agustus (kalau benar
itu Agustus), Hujan waktu itu sedang gemar terjun dan tergenang.
Sore datang, matahari jadi
bayang-bayang. Tapi guruh menyerbu, dan langit menyepuh abu-abu.
Maka bersiaplah kami. Dengan
calana dan kaus santai. Menengadah wajah ke langit, menjulurkan lidah, menyecap
asin air hujan, kemudian menghambur ke lapangan. Lapangan basket. Lapangan yang
disemen dengan pecahan-pecahan keramik. Warna-warni. Membias cahaya langit.
Petang riang. Kami
menyanyi senang.
Tidak lupa juga kami turun ke
lapangan futsal –tempat lembek dan berair, bermain, berlari-larian, dan segala hal
yang anak-anak perempuan seperti kami suka lakukan.
___
Di sore lainnya, ketika cercah
matahari merambat-rambat ingin segera pergi lagi, Kami memutuskan
berjalan-jalan ke belakang sekolah. Tempat sawah dan ilalang panjang sejauh
mata memandang.
Barangkali berjalan-jalan bersama
untuk sekedar mengobrol bisa mengusir penat bekas pelajaran matematika tadi
siang.
Angin menghembus-hembus di sore
yang damai.
Burung-burung menebar sayap di
langit jingga, di ranah luas tempat sesawah.
Di sana kami gelar obrolan.
Tentang apa saja; teman, makanan, bintang, dan orang-orang.
Setelah itu, setelah merasa
cukup dengan damai suasana, setelah puas mengobroli apa yang disuka, kami memutusukan menemui seorang penjaja bakso. Membeli empat bungkus, memesannya dengan plastik, dan membayarnya dua belas ribu rupiah, untuk dinikmati di asrama.
Tapi sebelum kami
benar-benar pergi, (dari penjual bakso itu), diadakanlah kompetisi. Berlari. Dari tempat itu, ke sekolah.
Dengan tidak memakai alas kaki.
Kami senang belari.
Senang sekali.
Sampai gerbang sekolah, dan seseorang
jatuh di lapangan.
Kami, tiga lainnya yang tidak
kenapa-napa tertawa. Mengapa kompetisi berlari bisa selucu ini?
Yang jatuh menggerutu sakit,
tapi hanya sebentar. Bungkus-bungkus bakso itu adalah obat penawar.
___
Ada juga hal yang dilakukan dua
dari kami di dinding kamar; membuat banyak note dengan tulisan-tulisan.
Curahan-curahan. Mereka menggambar, membuat karakter orang, dan bercakap-cakap
dengan tulisan bertinta spidol warna-warni.
Seperti membuat tips.
Berita-berita. Atau apapun yang mereka bisa tulis. Apapun.
Sampai tembok kamar penuh dengan
kertas-kertas.
Aku dan seorang teman yang lain senang
membacanya. Tulisan tiga belas-empat belas. Kadang, kami yang tidak berada di
belakang layar juga turut menempel kertas. Berpura-pura punya masalah, dan
berkonsultasi. Bertanya pada si penulis tips, penggambar karakter –atau bisa
disebuat apapun, untuk mendapat jawab.
Kami senang, karena balasannya
selalu unik dan menarik.
Sebuah sibuk yang menyenangkan.
Kalau ditanya perkara bahagia yang satu ini, percayalah, mereka juga tidak ingin
lupa.
___
“Benarkah?”
“Tidak
tahu.”
“Ada
apa?”
“Ini
sudah Juli 2016.”
“….”
“Dan
kami tidak punya foto.”
___
0 komentar:
Posting Komentar