Jumat, 01 Juli 2016

Matahari Keempat


Pernah aku begitu merasa dekat.

Dengan orang-orang yang saat itu rasanya tepat.

Kita membuat waktu selalu sempat.

Menengadah, menyelasar matahari keempat.

____

           Mungkin awalnya Agustus. Aih, aku tidak tahu pasti.

          Tapi saat itu, bermain serta belajar rasanya semakin seru saja dengan perkumpulan empat kepala tiga belas-empat belas yang berbahagia. Ketika malam kami berkumpul di kamar, menonton video, mengobrol, dan menggelar kasur di lantai.

            Kemudian ketika waktu menandakan pukul sebelas atau dua belas —setelah mengobrol muluk-muluk, kami memejam mata, dan bangun di pagi hari karena ingat kami punya janji.

           Walau itu Agustus (kalau benar itu Agustus), Hujan waktu itu sedang gemar terjun dan tergenang.

           Sore datang, matahari jadi bayang-bayang. Tapi guruh menyerbu, dan langit menyepuh abu-abu.

                Maka bersiaplah kami. Dengan calana dan kaus santai. Menengadah wajah ke langit, menjulurkan lidah, menyecap asin air hujan, kemudian menghambur ke lapangan. Lapangan basket. Lapangan yang disemen dengan pecahan-pecahan keramik. Warna-warni. Membias cahaya langit.

                Petang riang. Kami menyanyi senang.

                Tidak lupa juga kami turun ke lapangan futsal –tempat lembek dan berair, bermain, berlari-larian, dan segala hal yang anak-anak perempuan seperti kami suka lakukan.

                ___

                Di sore lainnya, ketika cercah matahari merambat-rambat ingin segera pergi lagi, Kami memutuskan berjalan-jalan ke belakang sekolah. Tempat sawah dan ilalang panjang sejauh mata memandang.

                Barangkali berjalan-jalan bersama untuk sekedar mengobrol bisa mengusir penat bekas pelajaran matematika tadi siang.

                Angin menghembus-hembus di sore yang damai.

                Burung-burung menebar sayap di langit jingga, di ranah luas tempat sesawah.

                Di sana kami gelar obrolan. Tentang apa saja; teman, makanan, bintang, dan orang-orang.

                Setelah itu, setelah merasa cukup dengan damai suasana, setelah puas mengobroli apa yang disuka,  kami memutusukan  menemui seorang penjaja bakso. Membeli empat bungkus, memesannya dengan plastik, dan membayarnya dua belas ribu rupiah, untuk dinikmati di asrama.

               Tapi sebelum kami benar-benar pergi, (dari penjual bakso itu), diadakanlah kompetisi. Berlari. Dari tempat itu, ke sekolah. Dengan tidak memakai alas kaki.

                Kami senang belari.

                Senang sekali.

                Sampai gerbang sekolah, dan seseorang jatuh di lapangan.

                Kami, tiga lainnya yang tidak kenapa-napa tertawa. Mengapa kompetisi berlari bisa selucu ini?
                Yang jatuh menggerutu sakit, tapi hanya sebentar. Bungkus-bungkus bakso itu adalah obat penawar.
                ___

                Ada juga hal yang dilakukan dua dari kami di dinding kamar; membuat banyak note dengan tulisan-tulisan. Curahan-curahan. Mereka menggambar, membuat karakter orang, dan bercakap-cakap dengan tulisan bertinta spidol warna-warni.

                Seperti membuat tips. Berita-berita. Atau apapun yang mereka bisa tulis. Apapun.
                Sampai tembok kamar penuh dengan kertas-kertas.

                Aku dan seorang teman yang lain senang membacanya. Tulisan tiga belas-empat belas. Kadang, kami yang tidak berada di belakang layar juga turut menempel kertas. Berpura-pura punya masalah, dan berkonsultasi. Bertanya pada si penulis tips, penggambar karakter –atau bisa disebuat apapun, untuk mendapat jawab.

                Kami senang, karena balasannya selalu unik dan menarik.

                Sebuah sibuk yang menyenangkan. Kalau ditanya perkara bahagia yang satu ini, percayalah, mereka juga tidak ingin lupa.

                ___

                “Benarkah?”

                “Tidak tahu.”

                “Ada apa?”

                “Ini sudah Juli 2016.”

                “….”

                “Dan kami tidak punya foto.”
                ___

                


0 komentar:

Posting Komentar

Ad Banner

Ad Banner
keles

About me

Laman ini,

Biar jadi rumah para gerutu.

Keluhku pada langit abu-abu.