Rabu, 15 Juni 2016

Rumah; Tempat Berpulang Paling Nyaman

illustration source; tumblr

Sengaja kutulis kala Ramadan, biar mudah kuingat-ingat bagaimana dahulu hari berjingkat menyingkap siang hingga akhirnya petang.

Karena ketika Ramadan, lebih mudah bagiku untuk mengenang. Tidak ada lagi yang kulakukan, selain hal yang demikian.

Bulan Ramadan ke-sebelas di rumahku.

Rumahku yang sekarang. Di Jalan Raya Petir, sebuah komplek perumahan yang di dalamnya masih diternak ayam atau bebek di beberapa rumah para warganya.

Ada jalan menurun ketika masuk gerbang perumahan. Kalau dari luar, akan terlihat seperti turunan bukit beraspal. Apalagi ketika kita benar-benar meluncur naik sepeda, rasanya akan seperti menuruni bukit berasapal, tentu saja.

Kemudian, setelah jalanan yang berkelok-kelok, temuilah sebuah gang. Gang yang hampir jadi penutup barisan gang-gang sebelumnya. Gang dengan rumah kosong yang hampir 50% presentasenya. Gang yang paling banyak berkeliaran ayam dan bebek, kukira.

Setelah itu, datangilah rumahku. Rumah dengan helai-helai krei bamboo dihadapannya. Kata ibu, itu dipasang agar tidak terlalu panas. Memang benar, ketika sore beranjak, pukul tiga atau empat, sinar matahari akan selalu leluasa menyengat terasnya.

Aku tidak tahu pasti ukuran rumahku berapa. Yang jelas, luasnya sangat cukup untuk aku, ibu, dan adik-adikku berlindung di bawah atapnya. Menangkal hujan, dan menyanggah panas. Yang kemudian setelah kami merasa tentram, dapat kami bangun di dalamnya rangka-rangka cerita. Momentum-momentum yang diabadikan dalam foto yang kami cetak sekian tahun sekali.

Ada tiga kamar yang bersembunyi di balik atap rumahku. Kamar ibu, dengan Teduh, adikku yang masih kecil. Di dalamnya terdapat sebuah kasur, dan dua buah lemari. Biasanya mereka cepat sekali tertidur. Paling lama, pukul sepuluh malam. Kadang, kalau aku masih terjaga, aku suka mengintipi mereka, bertanya pada dinding dan lemari, tentang bagaimana mereka mulai memejam mata.

Kemudian selanjutnya, tengoklah kamar Amal, adikku yang pertama. Kamarnya pas sekali ditempati sebuah kasur busa besar. Tidak ada lemari. Tidak ada meja belajar. Ukurannya pas dengan kasur. Ketika aku masuk melalui pintunya yang hanya ditutupi tirai, aku meloncat, dan saat mendarat, hanya tumpukan busa yang menadah.

Sekarang, berlalulah ke kamarku. Nah, ini dia. Kasurnya berukuran pas untuk satu orang, dengan lemari serbaguna di salah satu bagiannya. Tempatku menyimpan apa saja. Seperti hiasan landak dari kerang. Atau salep dan obat-obatan. Atau buku yang sedang kubaca tapi belum selesai.

Ada lemari baju dan meja belajar. Meja belajar yang kupenuhi cat-cat air, spidol, buku-buku, pianika, bahkan sepatu. Yang kudandani dengan kertas-kertas bergambar sederhana karya tanganku. Yang kutempeli foto-foto masa kecil di sisi kirinya dan diberi keterangan-keterangan agar aku ingat bagaimana dahulu mimik wajahku meraut.

Inilah kamarku. Kamar bercat hijau yang temboknya kucat sendiri tahun lalu. Kamarku yang kalau malam, lampunya masih terang. Menandakan aku masih terjaga. Masih membaca buku atau duduk di hadapan laptop. Barangkali menulis atau sesekali menonton film bergenre drama. Dari Negeri Korea, ah yang paling kusuka.

Kalau aku sudah mengantuk, tidak pernah kulupa untuk mematikan lampu. Kemudian berbaring tepat di bawah kipas angin. Mendengar derunya. Mengingat-ingat bagaimana tadi aku menjalani hari. Atau ketika agak susah terlelap, maka kusetel lagu yang dinyanyikan Sheila on7, tentang Jangan Takut akan Gelap.

Dan kusesapi lirik-liriknya. Sebagai bekal untuk lelap.

Maka aku akan mudah tertidur. Dan lagunya nanti akan mati sendiri pukul dua belas dini hari.

Inilah rumahku. Yang malas aku tinggal kalau harus pergi ke sekolah dan mendekam di asrama. Yang ketika kubaringkan ragaku di kasur asrama, aku membayangkan bagaimana nyamannya kamar rumah. Dengan deru kipas angin. Atau laguku.

Ini rumahku. Kalau kamu mau bertamu, akan kusediakan secangkir kopi atau teh, kemudian kamu duduk di hadapannya sambil mengepul-ngepul asapnya ke udara. Menggantung di langit-langit ruang tamu.

Ini rumahku. Tempat aku, adik-adiku, dan ibu, menenun waktu. Menceritakan mimpi-mimpi kita kalau mau.

Atau sebagai tempat tempur antara Amal dan aku ketika kami tidak sedang bersekutu.

Ini rumahku, yang ketika diucap kata pulang, hanya terdefinisi rasa tentram.

Hingga suatu hari nanti, satu atau dua tahun lagi, ketika aku jadi anak rantau, aku tidak akan bisa lagi merumah dimana-mana. Rumahku, rumah itu, sudah menjadi tempat berpulang paling nyaman yang kutahu.

___

illustration source; tumblr

0 komentar:

Posting Komentar

Ad Banner

Ad Banner
keles

About me

Laman ini,

Biar jadi rumah para gerutu.

Keluhku pada langit abu-abu.