Semoga ia tidak pernah membacanya.
Selamat malam Kolega,
Kepadamu
aku ingin katakan,
Bahwasanya
hari ini aku hampir lupa!
Aku yang tengah berusaha rela (dengan mengikhlaskanmu dengan segala keterbatasan yang
kupunya juga mengikisi sendiri emosi yang hampir selalu meledak-ledak dalam kepala), tadi siang usahaku agaknya sia-sia.
Perkara kamu, ternyata aku masih terluka.
Tapi mengapa pula aku masih merasa demikian? Padahal pada diriku sendiri aku sudah
merapal janji, untukmu aku harus berusaha ikhlas.
Ikhlas.
Lepas.
Rela.
Selanjutnya setelah usahaku yang sia-sia itu, aku sampai pada sebuah tempat beraroma rumah, di sana, aku istirahatkan segalanya. Sehingga kupikir, setelah bangun nanti, lukaku sudah
kulupa.
Jadi
dalam lelah jiwaku tadi, aku memejam mata.
Tidak
sulit. Terlalu mudah malah untuk terlelap kala lelah.
Dan
dalam tidurku yang seperti terperangkap, aku bermimpi; tentangmu, Kolegaku.
Di sana, semua luka terkuak. Entah itu kamu atau aku yang jadi peran utamanya. Yang
jelas, kita sama-sama punya pengaruh besar. Dan aku merasa kacau. Begitu
kacau.
Hingga
aku terjaga pada sebuah sore berangin, dan mengingat-ingat mengapa mimpiku bisa demikian
dingin.
Dan tersadar, bahwa aku telah begitu dungu untuk lupa, bahwa rapal janjiku adalah
untuk rela.
Baiklah,
Baik, Kolega.
Satu Juni malam ini, aku ingin bilang pada orang-orang, kalau aku baik-baik saja. Juga akan berusaha baik-baik saja. Untuk esok, dan kedepannya.
Orang-orang itu akan bertugas untuk mengingatkanku.
Sementara tugas milkimu, hanya untuk mengikis harapku, yang kadang terlalu naif dan menjulang ketinggian, sampaisampai mengungguli keterbatasanku.
Aku tahu, hal itu mudah bagimu. Jadi kuharap, kamu mau membantu.
Karena kamu adalah rekan yang paling kupercaya, maka baiknya, jangan pernah kamu kacaukan
keyakinanku.
Padamu.
Tempat
di mana kusimpan semuanya.
Tawa,
duka, dan cerita.
Dan pada
akhirnya, memang aku yang harus rela, karena untuk berharap, rasanya aku sudah terlalu renta.
___
June, 2016
0 komentar:
Posting Komentar