Hari itu hanya ada sebuah kursi.
Sendiri. Tak punya siapa-siapa lagi. Berdebu. Salah satu kakinya rapuh. Bagian
papan untuk duduknya berbercak biru.
Langit hari itu juga abu-abu.
Pelan-pelan bergemuruh. Sementara angin riuh.
Kursi itu masih sendiri. Kursi itu
kian sepi.
Sampai suatu hari ada orang berbaik
hati, kehujanan. Mencari tempat berteduh. Ada sebuah atap rapuh, dan sebuah
kursi. Ia merelakan dirinya duduk di sana. Dihempas angin. Kena bercak-bercak
hujan.
Orang itu kamu. Yang berbaik hati
itu kamu.
Kini kursi itu tidak lagi sendiri.
Ada kamu, yang berbaik hati. Menemani. Mengisi hari-hari sepi si kursi.
Tapi
sayangnya, hujan tidak selalu tumpah. Pun angin tidak senantiasa riuh.
Kamu tidak selalu datang. Kamu punya
banyak kegiatan.
Kursi itu sendiri lagi. Merasa sepi
lagi.
Hari-hari berlalu, setelah penantian
yang panjang, orang itu datang lagi. Kamu datang lagi.
Sembari bernyani, kamu menghampiri
Si Kursi. Tapi kali ini, kamu tidak sendiri. Seseorang mengikuti langkahmu, mengikuti
irama nyanyimu.
“Sini, duduk,” katamu pada orang
asing itu.
Dan ia duduk. Seenaknua mendudukiku.
Sedang kamu berdiri, menyaksikan hujan turun lamat-lamat.
“Aku biasanya ke sini,” katamu lagi.
“Kursi ini nyaman. Kamu juga
menyenangkan,” balas orang asing itu.
Kemudian kamu dan orang itu
berbincang. Tentang mengapa mendung menghasilkan hujan.
Setelah hujan berhenti, kamu
bergegas pergi. Tidak lupa orang itu mengikuti langkah kakimu.
Dan untuk waktu yang panjang, kamu
tidak kembali.
Si kursi kembali bernyanyi. Sendiri.
Untuk hari-hari yang sepi.
Dan kursi itu adalah aku.
***
0 komentar:
Posting Komentar