Sabtu, 23 April 2016

Kamu dan Kursi


            Hari itu hanya ada sebuah kursi. Sendiri. Tak punya siapa-siapa lagi. Berdebu. Salah satu kakinya rapuh. Bagian papan untuk duduknya berbercak biru.

            Langit hari itu juga abu-abu. Pelan-pelan bergemuruh. Sementara angin riuh.

            Kursi itu masih sendiri. Kursi itu kian sepi.

            Sampai suatu hari ada orang berbaik hati, kehujanan. Mencari tempat berteduh. Ada sebuah atap rapuh, dan sebuah kursi. Ia merelakan dirinya duduk di sana. Dihempas angin. Kena bercak-bercak hujan.

            Orang itu kamu. Yang berbaik hati itu kamu.

            Kini kursi itu tidak lagi sendiri. Ada kamu, yang berbaik hati. Menemani. Mengisi hari-hari sepi si kursi.

            Tapi  sayangnya, hujan tidak selalu tumpah. Pun angin tidak senantiasa riuh.

            Kamu tidak selalu datang. Kamu punya banyak kegiatan.

            Kursi itu sendiri lagi. Merasa sepi lagi.

            Hari-hari berlalu, setelah penantian yang panjang, orang itu datang lagi. Kamu datang lagi.

            Sembari bernyani, kamu menghampiri Si Kursi. Tapi kali ini, kamu tidak sendiri. Seseorang mengikuti langkahmu, mengikuti irama nyanyimu.

            “Sini, duduk,” katamu pada orang asing itu.

            Dan ia duduk. Seenaknua mendudukiku. Sedang kamu berdiri, menyaksikan hujan turun lamat-lamat.

            “Aku biasanya ke sini,” katamu lagi.

            “Kursi ini nyaman. Kamu juga menyenangkan,” balas orang asing itu.

            Kemudian kamu dan orang itu berbincang. Tentang mengapa mendung menghasilkan hujan.

            Setelah hujan berhenti, kamu bergegas pergi. Tidak lupa orang itu mengikuti langkah kakimu.

            Dan untuk waktu yang panjang, kamu tidak kembali.

            Si kursi kembali bernyanyi. Sendiri. Untuk hari-hari yang sepi.

       
         

   


       
Dan kursi itu adalah aku.

***

0 komentar:

Posting Komentar

Ad Banner

Ad Banner
keles

About me

Laman ini,

Biar jadi rumah para gerutu.

Keluhku pada langit abu-abu.