Kamis, 28 April 2016

Pelahap Medali


Hari ini, Ije, anak perempuan berkaki jenjang tengah terlihat sedih. Ia merasa seperti tak ada passion dalam hidupnya. Padahal dia suka menari. Cinta pada balet. Juga mahir berdansa. Tapi ibunya tidak pernah mengizinkan melakukan apa yang diinginkannya. Tidak mendukung cita-citanya. Ibunya lebih senang kalau Ije menjadi akuntan.

                “Hah, akuntan? Aku nggak mau.”

                “Pokoknya Ije, kamu harus jadi akuntan. Kalau nggak, sana tidur seharian. Dari pada kamu menari, ibu nggak suka ngelihatnya.”

                Ije melongo. Ibunya memang aneh.

                Ije sedih. Ia ingin sekali menari. Seluruh sendi ditubuhnya tidak bisa diam ketika mendengar irama. Musik-musik klasik dan kroncong.

                Tapi Ije tahu mata ibunya dimana-mana. Kalau Ije katahuan menari, ibunya akan marah sekali.
                “IJE, MASUK KAMAR. SANA TIDUR SEHARIAN!”

                Aneh. Membingungkan. Keles. Dan konyol.

                Maka sore ini, ketika ibunya sedang menyetel musik di ruang tamu, ketika otot-otot tubuhnya melemas bersiap menari, ia tak tahan lagi, dan ia merasa sedih sekali, Ije memutuskan pergi, ke taman kota. Di sana ia mendapati seseorang. Anak laki-laki. Betisnya besar, ternyata ia adalah pelari.

                Tapi hari ini, raut wajah Si Pelari tadi juga sedang kusut. Si Pelari duduk di samping Ije.

                “Boleh aku duduk di sini?”

                Ije mengangguk. "Tentu," Kemudian karena penasaran kenapa anak itu sedih, Ije bertanya.
                “Kenapa kamu sedih?”

                Anak itu diam. Lalu menjawab terisak. “Namaku Loma. Aku pelari. Aku memenangi banyak kompetisi. Aku punya banyak medali.”

                “Lalu?” Ije heran. Loma diam.

                “Hey, kau tahu, kau beruntung sekali. Dimana letak kesedihanmu? Sudah jadi seorang pelari, memenangi banyak kompetisi, juga punya banyak medali. Harusnya aku yang sedih, ibuku tidak mengizinkanku menari. Aku benci.”

                Loma diam lagi. “Orangtuaku sampai bercerai.”

                “Hah?” Ije mendapati ketidak-nyambungan cerita Loma. “Kau pelari berbakat, dan orangtuamu bercerai. Aku nggak ngerti.”

                Lengang. Loma tidak berkata apa-apa lagi.

                “Loma, dengarkan aku. Aku ingin sekali menari. Ayahku telah lama pergi. Sekarang, aku tinggal bersama ibuku. Dan yang lebih parah lagi, ibuku tidak bisa dimengerti. Astaga, ia melarangku menari!”

                Loma menarik napas, lalu berbisik, “Ayahku pelahap medali.”

                Ije mengernyit tidak mengerti. “Apa?”

                “Ayahku pelahap medali,” Loma mengulang kalimatnya lagi. “Semua medaliku habis dilahapnya, ibuku marah sekali, dan terjadi keributan panjang selama menahun, kemudian karena tak kuasa lagi, mereka bercerai.”

                Ije memandang Loma. Ganjil.

                “Ayahku aneh. Ia suka sekali padat besi, logam, sehingga ia sering melahap medali. Dan semua medali-medali itu, milik anaknya sendiri.”

                Loma menangis. Ije masih dibuat tidak mengerti.

                “Kau beruntung Ije, ibumu hanya melarangmu menari. Tidak sepertiku, ayahku melahap medali-medaliku. Keringatku. Dan yang lebih parah lagi, setelah ia merasa lapar akan medali, ia menyuruhku ikut kompetisi. Sering sekali."

                Ije diam. Loma diam.

                Keduanya bertatapan, memancar gurat kesedihan, kemudian menangis bersama-sama. 

             Hidup kadang terlalu tidak bisa dipahami, oleh kita yang tidak bermata jeli.


                ***

0 komentar:

Posting Komentar

Ad Banner

Ad Banner
keles

About me

Laman ini,

Biar jadi rumah para gerutu.

Keluhku pada langit abu-abu.