Hari ini, Ije, anak perempuan berkaki jenjang tengah terlihat sedih. Ia merasa seperti tak ada passion
dalam hidupnya. Padahal dia suka menari. Cinta pada balet. Juga mahir berdansa. Tapi
ibunya tidak pernah mengizinkan melakukan apa yang diinginkannya. Tidak mendukung cita-citanya. Ibunya lebih senang kalau Ije menjadi akuntan.
“Hah, akuntan? Aku nggak mau.”
“Pokoknya Ije, kamu harus jadi
akuntan. Kalau nggak, sana tidur seharian. Dari pada kamu menari, ibu nggak suka ngelihatnya.”
Ije melongo. Ibunya memang aneh.
Ije sedih. Ia ingin sekali
menari. Seluruh sendi ditubuhnya tidak bisa diam ketika mendengar irama.
Musik-musik klasik dan kroncong.
Tapi Ije tahu mata ibunya
dimana-mana. Kalau Ije katahuan menari, ibunya akan marah sekali.
“IJE, MASUK KAMAR. SANA TIDUR
SEHARIAN!”
Aneh. Membingungkan. Keles. Dan
konyol.
Maka sore ini, ketika ibunya sedang
menyetel musik di ruang tamu, ketika otot-otot tubuhnya melemas bersiap menari, ia tak tahan lagi, dan ia merasa sedih sekali, Ije memutuskan pergi, ke taman kota. Di sana ia mendapati seseorang. Anak laki-laki. Betisnya besar, ternyata ia adalah pelari.
Tapi hari ini, raut wajah Si
Pelari tadi juga sedang kusut. Si Pelari duduk di samping Ije.
“Boleh aku duduk di sini?”
Ije mengangguk. "Tentu," Kemudian karena
penasaran kenapa anak itu sedih, Ije bertanya.
“Kenapa kamu sedih?”
Anak itu diam. Lalu menjawab
terisak. “Namaku Loma. Aku pelari. Aku memenangi banyak kompetisi. Aku punya
banyak medali.”
“Lalu?” Ije heran. Loma diam.
“Hey, kau tahu, kau beruntung
sekali. Dimana letak kesedihanmu? Sudah jadi seorang pelari, memenangi banyak kompetisi, juga punya
banyak medali. Harusnya aku yang sedih, ibuku tidak mengizinkanku menari. Aku benci.”
Loma diam lagi. “Orangtuaku
sampai bercerai.”
“Hah?” Ije mendapati
ketidak-nyambungan cerita Loma. “Kau pelari berbakat, dan orangtuamu bercerai.
Aku nggak ngerti.”
Lengang. Loma tidak berkata
apa-apa lagi.
“Loma, dengarkan aku. Aku ingin
sekali menari. Ayahku telah lama pergi. Sekarang, aku tinggal bersama ibuku.
Dan yang lebih parah lagi, ibuku tidak bisa dimengerti. Astaga, ia melarangku
menari!”
Loma menarik napas, lalu
berbisik, “Ayahku pelahap medali.”
Ije mengernyit tidak mengerti.
“Apa?”
“Ayahku pelahap medali,” Loma
mengulang kalimatnya lagi. “Semua medaliku habis dilahapnya, ibuku marah
sekali, dan terjadi keributan panjang selama menahun, kemudian karena tak kuasa lagi, mereka bercerai.”
Ije memandang Loma. Ganjil.
“Ayahku aneh. Ia suka sekali padat besi, logam, sehingga ia sering melahap medali. Dan semua medali-medali itu, milik anaknya sendiri.”
Loma menangis. Ije masih dibuat
tidak mengerti.
“Kau beruntung Ije, ibumu hanya
melarangmu menari. Tidak sepertiku, ayahku melahap medali-medaliku. Keringatku. Dan yang lebih parah lagi, setelah ia merasa lapar akan medali, ia menyuruhku ikut kompetisi. Sering sekali."
Ije diam. Loma diam.
Keduanya bertatapan, memancar gurat kesedihan, kemudian menangis
bersama-sama.
Hidup kadang terlalu tidak bisa dipahami, oleh kita yang tidak bermata jeli.
***
0 komentar:
Posting Komentar