Jumat, 20 Mei 2016

Lelap, Gelap, dan Harap




Dalam tidurnya yang gusar, Ia terlempar.

Pada sebuah hutan. Yang hanya menawarkan sunyi. Serta lolongan paling panjang di kotak mimpinya yang pengap.
          
            Ia hampir tak percaya. Pandangannya buram karena tak dibias cahaya.

Dan ketika lamat-lamat matanya mengerjap, ia melihat.

Dirinya benar-benar berada di sebuah hutan. Gelap. Dingin. Dan sesak.

Ia yakinkan pendengarannya. Dan sekali lagi, yang ia tangkap hanya lolongan. Dan riak-riak kecil harap anak manusia yang tak sampai.

Aku hanya dihalusinasi mimpi, ia meyakinkan dirinya sendiri. Mimpi-mimpi paling sakit. Karena biasanya memang seperti ini, khayalanku melanglang jauh sekali.

            Apakah Ia takut? Tidak. Ia tidak pernah lagi merasa takut.

            Sejak malam itu. Malam dengan benda raksasa di bawah tempat tidurnya.

            Jadi terus ia sibak rimba mimpinya. Belantara paling fana di dunia.

            Ia berjalan, Menyusuri setapak paling temaram.

            Sampai kakinya tersandung sesuatu yang pucat dan bernapas.

            Sebuah.

Seekor.

Seorang.

Ah itu manusia.

Tengah bertelungkup. Sedang di punggungnya bertebaran kelopak dedaun oranye-abuabu.

            Kemudian ketika dibalik tubuhnya. Sosok itu identik dengan dirinya sendiri. Rambut sebahu itu miliknya. Dahi lebar itu kepunyaannya. Dan pakaian yang melekat di sana, itu juga adalah pakaian terakhir yang ia gunakan ketika hendak lelap.

….tubuh malang itu memang dirinya.

            Kelopak matanya memejam. Seperti takut akan kenyataan yang menyakitkan.

Hanya dengkur dan buru napas yang terdengar, bagai selebaran malam yang panjang. Dan di lengan serta kakinya, ia temukan lebam serta memar. Yang ia tahu kemudian, itu adalah jelmaan dendam yang tak terbalaskan.

            Apakah Ia takut? Tidak. Ia tidak pernah lagi merasa takut.

            Yang ia rasa hanyalah bendungan amarah. Mulai jebol, mengalir dalam darah.

            Kini yang ia tahu adalah bahwa kenyataan lebih sunyi dan sepi dari ini. Dengan rasa dengki yang menyengati sendi-sendi tubuhnya hampir setiap waktu. Juga harapan-harapan payahnya yang mengail-ngail dada setiap kali ia merasa begitu dungu.

 Ia benci.

Bahkan dalam dunia nyatanya sendiri, ia tak ingin hidup lagi.

            Jadi ia jebloskan saja alam bawah sadarnya sendiri hingga jauh. Hingga lolongan dan riak-riak itu tak terdengar lagi.

            Lalu yang tersisa hanya sepi. Dalam tidurnya yang tak bertepi.
           
            ***
         

Lelap, gelap, dan harap.



*Pic  by tumblr

2 komentar:

Ad Banner

Ad Banner
keles

About me

Laman ini,

Biar jadi rumah para gerutu.

Keluhku pada langit abu-abu.