Rabu, 16 Mei 2018

Kamar Mandi dan Dunia Kecil di Dalamnya

Jeng jeng jeng ini dia potret lukisan gue (atau aku, atau saya? Bingung ah) yang dibuat dalam rangka pameran pertama angkatan kuliahan.



Sebenernya, sebelum angkatan punya rencana ngadain pameran, yang ngusung tema “who I am” alias “sopo aku ki”, udah lama pengen bisa ngelukis kamar mandi.

Gue suka dunia kecil yang ditawarin kamar mandi. Sikat gigi yang ditaro asal-asalan selesai pakai, sabun yang masih berbusa abis digosokin ke badan, keran air yang nyala, krucuk-krucuk, alirannya yang luber menuju lubang, atau cipratan odol di cermin, semuanya.

Lalu gue bergumam, mulut kicep tapi suara menggema, kayak adegan di sinetron: andai aja gue bisa ngelukis waktu dipertemukan dengan sebuah kamar mandi lainnya. Kamar mandi yang yang yang ah.

Jadi gini, belum lama, gue sempet terjebak kontrak untuk tinggal di kosan yang kamar tidurnya bersebelahan dengan kamar mandi.

Bukan kamar mandi yang resik nan wangi karbol, Pemirsa. Itu mendingan.

Tapi kamar mandi yang seandainya sampean lewat di hadepannya aja, gue jamin, udah ngebuat perut keaduk-aduk. Bikin mual. Mau muntah.

Kamar mandi yang cat dindingnya ngelupas.

Kamar mandi yang klosetnya lecet. Jadi ada belecet-belecetannya di dasar lobang (ngiiiiw uek!) menimbulkan spekulasi-spekulasi, prasangka buruk, terkait apa itu isinya, hahaha.
Kamar mandi yang buuaaaau, yang pintunya selalu kebuka (ngebuat aromanya seenak udel masuk kamar gue waktu itu)

Kamar mandi yang ijo.

Iya, ijo. Lumut membalut. Dimana-mana. Dinding. Bak. Gayung. Sampe tempat sabun.
Astagfirullaaaah. Nangis gue.

Kayaknya seonggok (hahaha) kamar mandi yang suram pas deh buat ngegambarin MCK satu itu. Gue ngebayangin gue bisa ngelukis kesuramannya, aura negatifnya, gimana gayung dan perkakas di sana dilumutin semua, bak mandi berlumut, kamar mandi berlumut, aer yang… kecampur lumut. Atau mungkin juga sampe ada ganggang laut nyasarnya. Terus klosetnya yang lecet, belecet, lobang airnya yang nggak pake filter (jadi langsung lobang lumutan ngejogrok gitu), dan hal-hal menjijikan lainnya di atas kanvas.

Tapi ternyata gue nggak bisa.

Nggak bisa karena untuk sekedar liat wujudnya aja gue nggak kuat.

Nggak bisa karena 5 hari kemudian, setelah percakapan sengit sama ibu kos, gue berhasil pindah kamar ke bawah. Ahamdulillah.

Apparently my willingness to make an art is less than KEMASLAHATAN HIDUP GUE.

Selain karena tragedi itu, waktu liburan, gue juga dipertemukan (entah sama siapa, mungkin bibi pudot) dengan buku puisinya Joko Pinurbo di perpustakaan. Judulnya Selamat Menunaikan Ibadah Puisi yang most of it, isinya ngebahas celana dan… kamar mandi.

Ini salah satu puisi beliau yang berbau kamar mandi.

Antar Aku Ke Kamar Mandi

Tengah malam ia tiba-tiba terjaga,
kemudian membangunkan Seseorang
yang sedang mendengkur di sampingnya.
Antar aku ke kamar mandi.

Ia takut sendirian ke kamar mandi
sebab jalan menuju kamar mandi
sangat gelap dan sunyi.
Jangan-jangan tubuhku nanti tak utuh lagi.

Maka Kuantar kau ziarah ke kamar mandi
dengan tubuh tercantik yang masih kaumiliki.
Kau menunggu di luar saja.
Ada yang harus kuselesaikan sendiri.

Kamar mandi gelap gulita. Kauraba-raba
peta tubuhmu dan kaudengar suara:
Mengapa tak juga kautemukan Aku?

Menjelang pagi ia keluar dari kamar mandi
dan seseorang yang tadi mengantarnya
sudah tak ada lagi. Dengan wajah berseri-seri
ia pulang ke ranjang, ia dapatkan Seseorang
sedang mendengkur nyaring sekali.

Jangan-jangan dengkurMu
yang bikin aku takut ke kamar mandi.

(2001)
Joko Pinurbo
Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

Gue suka buku ini. Suka banget. Unik. Liar. Menarik. Ha, ziarah ke kamar mandi? He inspired me a lot. Gue nggak peduli walau pas ibu gue nemuin buku ini jidatnya ngernyit. Terus kernyitannya makin waduh waktu gue mulai nyeketsa potret kamar mandi rumah kami.

Kalau kamar mandi bisa dibuat karya sastra… kenapa enggak kamar mandi juga dibuat karya seni?



Sebenernya gue sempet ragu waktu mulai ngewarnain. Waduh, ini pengalaman pertama gue ngelukis di atas kanvas. Pengalaman pertama juga pake akrilik. Beberapa bagian gambar, yaitu beberapa kotak keramik yang udah diwarnain waktu itu pucet banget dan tampak sangat…. meragukan.

Seringnya di momen-momen nggak yakin begitu, gue pikir cincainya kalo ambil jeda aja dulu. Boleh sejam, dua jam, tiga jam, empat jam, lima jam (kita mah bebaaaas). Dilanjutin lagi nanti, waktu perasaannya udah enakan dan rasa-rasanya tau nih apa yang harus dibenahin.

Kayaknya bagian situ warnanya kurang tua. Harus setua nenek gue, deh.

Yha boleh.

Setelah lima hari ngutek-ngutek permukaan kanvas kecil ini, setelah berbagai macam distraksi, mulai dari Sipa si tetangga yang datengnya ngeruwetin gue sampe Enduh yang mainin cat pengen ikutan ngegambar di teritorial sakral ini (hah jangan!) akhirnya kamar mandi mungil ini bisa selesai. Bisa jadi. Bisa fix. Dan gue bisa… puas. Hehehe.

Iyakan ya, kita mah, kalo ngerjain karya nggak bakal berenti kalo belum puas? Rasanya pasti ada yang kurang dan ngeganjel di hati. 

Dan sekarang rasanya masih unbelievable it was me doing it. Alay yayayaya. Tapi ya gitu dah. Mengingat buat kepala orang pun gue masih sering menyot, baru mendingan di percobaan yang ke-sekian. Jadi buat meminimalisir kejadian kayak gitu, kemarin gue belilah itu wooden mannequin, si lelaki kayu. Yang kecil. Buat referensi gambar dan teman saat sepi.

YHAA.

Terus tanggal 7-8 Maret kemaren, kamar mandi mini ini dipajang dong di Taman Budaya Jawa Tengah aka tebejete, ikut pameran angkatan. Gaya. Kenapa bisa lolos kurasi ayo? Jawabannya adalah iyalah bisa, kan bayarrr. Semua orang bayar. Nggak akan ada karya yang nggak lolos hehehe.

Gue udah khawatir my toilet (biar gaya) dipasang di lokasi yang nggak strategis. Dan benar saja, I found my tiny toilet diapit karya-karya gede, komik sama potret wajah kalo nggak salah. Langsung lah itu beterbangan segala khayalan gue tentang lukisan ini yang sendirian, terkesan menyendiri dan terpojok sehingga jadi bahan perhatian (hm ketauan caper).

Tapi ya udahlah, lagian salah sendiri juga waktu itu terlambat parah datang ke galeri, pembukaan juga udah mau dimulai. Then I only left my tiny toilet with its caption below.

Aku dan dia (Kamar Mandi) selalu berterus-terang. Dia membuatku telanjang. Dan aku membiarkan tubuhku, dengan airnya, diterjang. Mungkin sampai umurku delapan, kami selalu bertigaan. Aku dengan ayah, aku dengan ibu, atau aku dengan Amal, bersamanya main tembak-tembakan. Sampai akhirnya hari-hari, dengan bergiliran, berhasil mendewasakanku. Lalu kami bisa berdua saja. Pada diriku dia menyaksikan pertumbuhan.  Aku tidak pernah seterus-terang ini pada siapapun. Hanya padanya, rahasiaku beruraian tiada ampun. Bagiku Kamar Mandi adalah aku. Ya, kadang-kadang kami menyatu.







Menurut lo gimana?

Haha

Di sini sekarang gue cuma berharap semoga kita selalu dilindungi dari kondisi yang mengharuskan kita berinteraksi dengan kamar mandi yang keberadaannya tidak kita ingini (dibaca: suram). Entah itu toilet umum atau toilet kosan. Mudah-mudahan. Amin YRA.

Salam,

Tika Oke




April 2018

0 komentar:

Posting Komentar

Ad Banner

Ad Banner
keles

About me

Laman ini,

Biar jadi rumah para gerutu.

Keluhku pada langit abu-abu.