Selasa, 15 Mei 2018

Lepas

Saya teringat pertanyaan sahabat kepala sekolah saya, Bapak Andrian kepada lima belas (atau enam belas) anak-anak kelas dua SMA, dalam sesi Warisan. Sebuah program sekolah kami yang digagasnya. Dengar-dengar, program ini memang pengalaman nyata yang diwariskan bapaknya. Pembelajaran tentang kehidupan. Pertanyaan dia malam itu ringkas. Apa satu kata yang menggambarkan kematian?

Ada yang bilang satu kata itu adalah perpisahan. Teman-teman yang lain bilang itu adalah Tuhan, cahaya, selesai, dan lain-lain. Lalu giliran saya. Saya sudah menyiapkan jawaban sesaat sebelum ditanya. Jawaban yang sekonyong-konyong datang dan rasanya pas. Se-pas kata perpisahan, Tuhan, cahaya, atau selesai.

Apa satu kata yang menggambarkan kematian?

ilustrasi oleh Ãœmit Boran dari sini


“Lepas.”

Lepas, kata si penanya mengulang. Lalu dia beralih kepada seorang lainnya.

Kenapa lepas? Saat itu saya tidak tahu. Saya bocah dan yang saya niatkan malam itu adalah bisa menjawab sepuitis mungkin. Biar beuh. Gengsi, Boi.

Alasannya datang tiga tahun kemudian. Saat saya sedang jauh ribuan kilometer dari rumah. Pada sebuah kamar kosan. Jam sebelas. Tadi malam. Saya tengah lancang menyandingkan foto saya dengan para penulis hebat. Saya buat si tengil saya bersebelahan dengan Jokpin. Paling pinggir.

Jam sebelas. Saya sedang iseng. Mengedit foto disambi minum perasan jeruk nipis yang potongan-potongan jeruknya dipotong dengan pisau karatan.

Sedang asyik. Sedang tenang.

Lalu dua detakan saja di telinga kiri.

Seketika saya takut mati.

Merasa beberapa menit lagi saya pasti mati.

Menulis ini pun saya masih gemetaran, sesungguhnya.

Oh tapi mari lanjutkan. Saya harus bisa mengontrol diri.

Pekerjaan iseng itu langsung saya hentikan. Saya takut. Bingung. Rasanya telapak kaki saya menghangat. Saya gerak-gerakan, memastikan syaraf masih bekerja di bawah sana. Lalu badan saya mendingin (tidak tahu itu hanya perasaan atau memang demikian). Saya kalut. Saya takut. Telapak dan kaki saya keringatan.

Saya memutuskan untuk keluar kamar. Ke ruang tengah. Berputar-putar di sana. Memastikan badan saya masih lincah. Saya masih ada. Bernapas. Bergerak. Berkualifikasi sebagai makhluk hidup. Tapi tidak ada siapa-siapa di situ. Saya gelisah. Lalu saya masuk ke kamar seorang teman. Tanpa mengetuk.

Dia sedang nonton Harry Potter. The Half Blood Prince. Adegan ciuman. Dia memekik, “Aaa kamu datangnya di saat yang nggak tepat!” Ditutupnya layar laptop.

Saya tidak peduli. Ini saya akan mati!

“Mau ikut nonton?”

“Gak. Mau di sini aja.” Kata saya terbata.

Kemudian dia kembali pada Potter. Dia bahkan tidak melihat ada yang salah dalam diri saya. Dia tidak sadar sebentar lagi akan ada mayat dalam kamar bersamanya.

Saya ingin bilang saya butuh pertolongan. Dokter atau siapapun. Tapi urung karena tidak punya bukti dan tidak tedengar masuk akal.

Jadi di kasurnya saya hanya duduk. Tiduran. Duduk. Tiduran. Menghempas badan.
…tapi teman yang asyik nonton tidak membantu apa-apa.

Saya duduk. Tiduran. Duduk. Tiduran. Gelisah. Sangat gelisah.

Puncaknya di situ. Napas saya mulai susah (sekarang saya tahu itu cuma ilusi), jantung berdetak kencang (seperti habis lari), badan gemetaran hingga saya merasa terlepas dari badan. Mengawang!

Saya takut. Amat takut. Saya rapatkan badan pada teman tadi. Menyandarkan kepala ke punggungnya. Seberusaha mungkin menyentuhkan tangan dan kaki padanya. Hal yang amat jaraaang saya lakukan. (atau mungkin tidak pernah?)

Lalu ketakutan itu reda 45 menit kemudian, setelah saya memutuskan keluar kosan. Pergi ke tempat makan. Cari keramaian. Pikir saya saat itu, setidaknya kalu terjadi sesuatu ada banyak orang yang bisa memberi pertolongan. Lalu saya segera menghubungi ibu. Duduk di bangku panjang menghadap jalan.

_

Saat ketakutan itu berlangsung, saya tidak memberitahu siapa-siapa karena saat itu saya takut (takut sekali) kalau hal itu diketahui orang lain, saya malah akan mati sungguhan.
Sama seperti empat tahun lalu. Setahun sebelum pertanyaan Warisan itu dilontarkan.
Saya, seorang siswa kelas 3 SMP tengah berada di sebuah kelas agama. Di mana pengajarnya, Pak Endang, sedang membahas hal-hal biasa seputar perilaku sehari-hari, ahklak, jauh dari kematian. Iya, waktu itu saya dilanda ketakutan itu juga. Keringat dingin, detak deras jantung, seperti ada yang bersiap di belakang, dan lepas dari badan persis kejadian semalam.

Ternyata yang semalam itu kali kedua.
Dan artinya jawaban lepas sok puitis bermalam-malam yang lalu itu tidak datang cuma-cuma. Jawaban itu datang dari pengalaman.

_

Jam 4 sore sekarang. Sudah 17 jam berlalu sejak kejadian semalam dan saya masih bertanya-tanya, ada apa ya?

Yang saya yakini ini adalah masalah psikologis. Tapi saya buta apa-apanya. What I get to do then?




ditulis 14 maret 2018 
oleh Tika Oke yang waktu itu tidak sedang ok

0 komentar:

Posting Komentar

Ad Banner

Ad Banner
keles

About me

Laman ini,

Biar jadi rumah para gerutu.

Keluhku pada langit abu-abu.