Saya
teringat pertanyaan sahabat kepala sekolah saya, Bapak Andrian kepada lima
belas (atau enam belas) anak-anak kelas dua SMA, dalam sesi Warisan. Sebuah
program sekolah kami yang digagasnya. Dengar-dengar, program ini memang
pengalaman nyata yang diwariskan bapaknya. Pembelajaran tentang kehidupan.
Pertanyaan dia malam itu ringkas. Apa satu kata yang menggambarkan kematian?
Ada
yang bilang satu kata itu adalah perpisahan. Teman-teman yang lain bilang itu
adalah Tuhan, cahaya, selesai, dan lain-lain. Lalu giliran saya. Saya sudah
menyiapkan jawaban sesaat sebelum ditanya. Jawaban yang sekonyong-konyong
datang dan rasanya pas. Se-pas kata perpisahan, Tuhan, cahaya, atau selesai.
Apa satu kata yang menggambarkan
kematian?
ilustrasi oleh Ãœmit Boran dari sini
“Lepas.”
Lepas, kata si penanya mengulang. Lalu
dia beralih kepada seorang lainnya.
Kenapa
lepas? Saat itu saya tidak tahu. Saya bocah dan yang saya niatkan malam itu
adalah bisa menjawab sepuitis mungkin. Biar beuh.
Gengsi, Boi.
Alasannya
datang tiga tahun kemudian. Saat saya sedang jauh ribuan kilometer dari rumah.
Pada sebuah kamar kosan. Jam sebelas. Tadi malam. Saya
tengah lancang menyandingkan foto saya dengan para penulis hebat. Saya buat si
tengil saya bersebelahan dengan Jokpin. Paling pinggir.
Jam
sebelas. Saya sedang iseng. Mengedit foto disambi minum perasan jeruk nipis
yang potongan-potongan jeruknya dipotong dengan pisau karatan.
Sedang
asyik. Sedang tenang.
Lalu
dua detakan saja di telinga kiri.
Seketika saya takut mati.
Merasa
beberapa menit lagi saya pasti mati.
Menulis
ini pun saya masih gemetaran, sesungguhnya.
Oh
tapi mari lanjutkan. Saya harus bisa mengontrol diri.
Pekerjaan
iseng itu langsung saya hentikan. Saya takut. Bingung. Rasanya telapak kaki
saya menghangat. Saya gerak-gerakan, memastikan syaraf masih bekerja di bawah
sana. Lalu badan saya mendingin (tidak tahu itu hanya perasaan atau memang
demikian). Saya kalut. Saya takut. Telapak dan kaki saya keringatan.
Saya
memutuskan untuk keluar kamar. Ke ruang tengah. Berputar-putar di sana. Memastikan
badan saya masih lincah. Saya masih ada. Bernapas. Bergerak. Berkualifikasi
sebagai makhluk hidup. Tapi tidak ada siapa-siapa di situ. Saya gelisah. Lalu
saya masuk ke kamar seorang teman. Tanpa mengetuk.
Dia
sedang nonton Harry Potter. The Half Blood Prince. Adegan ciuman. Dia memekik,
“Aaa kamu datangnya di saat yang nggak tepat!” Ditutupnya layar laptop.
Saya
tidak peduli. Ini saya akan mati!
“Mau
ikut nonton?”
“Gak.
Mau di sini aja.” Kata saya terbata.
Kemudian
dia kembali pada Potter. Dia bahkan tidak melihat ada yang salah dalam diri
saya. Dia tidak sadar sebentar lagi akan ada mayat dalam kamar bersamanya.
Saya
ingin bilang saya butuh pertolongan. Dokter atau siapapun. Tapi urung karena tidak
punya bukti dan tidak tedengar masuk akal.
Jadi
di kasurnya saya hanya duduk. Tiduran. Duduk. Tiduran. Menghempas badan.
…tapi
teman yang asyik nonton tidak membantu apa-apa.
Saya
duduk. Tiduran. Duduk. Tiduran. Gelisah. Sangat gelisah.
Puncaknya
di situ. Napas saya mulai susah (sekarang saya tahu itu cuma ilusi), jantung
berdetak kencang (seperti habis lari), badan gemetaran hingga saya merasa
terlepas dari badan. Mengawang!
Saya
takut. Amat takut. Saya rapatkan badan pada teman tadi. Menyandarkan kepala ke
punggungnya. Seberusaha mungkin menyentuhkan tangan dan kaki padanya. Hal yang
amat jaraaang saya lakukan. (atau mungkin tidak pernah?)
Lalu
ketakutan itu reda 45 menit kemudian, setelah saya memutuskan keluar kosan.
Pergi ke tempat makan. Cari keramaian. Pikir saya saat itu, setidaknya kalu terjadi
sesuatu ada banyak orang yang bisa memberi pertolongan. Lalu saya segera
menghubungi ibu. Duduk di bangku panjang menghadap jalan.
_
Saat
ketakutan itu berlangsung, saya tidak memberitahu siapa-siapa karena saat itu
saya takut (takut sekali) kalau hal itu diketahui orang lain, saya malah akan mati sungguhan.
Sama
seperti empat tahun lalu. Setahun sebelum pertanyaan Warisan itu dilontarkan.
Saya,
seorang siswa kelas 3 SMP tengah berada di sebuah kelas agama. Di mana pengajarnya,
Pak Endang, sedang membahas hal-hal biasa seputar perilaku sehari-hari, ahklak,
jauh dari kematian. Iya, waktu itu saya dilanda ketakutan itu juga. Keringat
dingin, detak deras jantung, seperti ada yang bersiap di belakang, dan lepas
dari badan persis kejadian semalam.
Ternyata
yang semalam itu kali kedua.
Dan
artinya jawaban lepas sok puitis bermalam-malam yang lalu itu tidak datang
cuma-cuma. Jawaban itu datang dari pengalaman.
_
Jam
4 sore sekarang. Sudah 17 jam berlalu sejak kejadian semalam dan saya masih
bertanya-tanya, ada apa ya?
Yang
saya yakini ini adalah masalah psikologis. Tapi saya buta apa-apanya. What I get to do then?
ditulis 14
maret 2018
oleh Tika Oke yang waktu itu tidak sedang ok
0 komentar:
Posting Komentar