Selasa, 30 Januari 2018

Spaneng

            Sikat gigi, indomie, super mie, kopi luwak, kopi kapal api, kopi ABC, kopiko, sampo clear, sampo pantene, sampo tresemme, tisu tesa, tisu paseo, tisu wajah, tisu wc, nugget ayam, kornet sapi, sekilo telur, setengah kilo gula, berboks-boks teh, teh poci, the tjatoet, teh sariwangi, teh maemunah, teh wati, rinso bubuk, rinso cair, rinso antinoda, roma gandum, roma kelapa, roma irama jangan begadang, roma irama judi, semuanya, dan semuanya berdesak-desakan di troli belanja ibu-ibu, para bapak rumah tangga, anak kostan yang baru dapet kiriman, dan lansia kurang kegiatan yang mengular menunggu giliran belanjaannya dihitung di meja kasir.

            Dihitung buat dibayar. Dibayar biar bisa dibawa pulang. Dibayar oleh mereka yang beli, dihitung olehku sang penjaga kasir. Mbak-mbak supermarket. Mbak-mbak yang matanya sepet. Menurutmu mengapa itu antrian harus membludak di jam-jam makan siang, jam-jam krusial bagi perutku yang sial?

            Diperparah dengan penanggalan di kalender yang bilang padaku kalau ini tanggal satu, waktunya gajian, dapat uang, kaya raya-lah dia Si Fulan. Kalender bilangnya tidak hanya padaku, tapi juga sama ibu-ibu yang sedang menyusun belanjaannya di meja kasir ini. Ibu terpelajar sepertinya. Dia kalau bukan guru matematika, pasti guru bahasa. Kacamatanya berkilat-kilat ungu diterpa lampu-lampu gantung yang lebih dari empat puluh satu jumlahnya. Selain itu, indikasi bahwa dia adalah guru juga bisa dilihat dari caranya menyusun belanjaan. Di meja kasir. Di hadapanku. Dikelompok-kelompokkan sesuai kategori, mana mi instan, mana mi ayam. Kolom dan baris, bak matriks. Terpelajar dan rapi.

275.500 rupiah ibu guru itu menyodorkan uangnya kepadaku. Pas. Tidak kurang, tidak kembalian. “Pas ya, Ibu,” Aku masih sempat nyengir walau lelah. Ibu itu bilang terimakasih, dan kacamatanya berkilat-kilat sekali lagi.

            Kulirik jam di monitor. Jam dua lebih enam belas menit. Aku belum sempat makan siang, antrian kasian ini sudah dimulai dari jam sebelas tadi. Nihil shift, tidak ada yang sukarela menggantikan aku sebentar, semua sama lelahnya di medan masing-masing, meja kasir. Meja kayu yang permukaannya dilapisi aluminium, yang sendainya dia dibuat menurun, benda-benda pasti bisa meluncur, atau yang lebih enak lagi seperti air, bisa meluncur. Aku kepikiran tentang bagaimana kalau meja kasir diberi perosotan di mukanya, sehingga, barang-barang dari keranjang tinggal ditumpahkan saja semua. Tidak perlu ditata, tidak perlu lama. Kepikiran, aku kepikiran. Bersyukurlah aku sempat-sempatnya berpikir di jeda sebentar sebelum bapak tambun ini, setelah ibu guru tadi –meski meja kasir ini belum punya perosotan, sudah menumpahkan belanjaannya di hadapanku. Trala.

            Botol-botol soda raksasa. Susu bear breand. Tiga buntal roti tawar. Ikan buntal setengah kilo. Pisau cukur. Permen kapas merk koala. Kupaksa lampu sensor yang merah, seperti warna kemasan boncabe level sepuluh bertatap muka dengan dua botol soda itu. Si kembar buto. Bagiku lebih mudah dan cepat, ketika pembeli merelakan rupiah mereka untuk barang dengan merk dan rasa yang sama. Misalnya indomie. Sepuluh indomie, kalau semua rasa ayam bumbu asin, aku hanya perlu memerintahkan si merah itu menyalangkan matanya pada barcode salah satu unit, sisanya bisa kutuliskan di monitor, sejumlah yang dibeli.

            “Nggak ada potongan mbak buat sodanya, kan beli dua,” kata si bapak tiba-tiba. Tangannya mengacungkan dua jari utusan, didekatkan dengan pipi, seperti bergaya. 

Sedang, nadanya bicara mengambang antara dia bertanya atau menawarkan pernyataan.
“Oh nggak ada, pak. Lagi nggak ada promo.” Kalau lagi tidak ada diskon bapak beli dua belas pun ya nihil potongan.

“Tahun lalu saya beli dua, dapet promo kok mbak,” katanya lagi, sambil merapat-rapatkan belanjaan. Didekatkannya permen kapas dengan susu bear brand, biar kawin.

“Kalo tahun ini nggak ada sih, Pak.” Tahun lalu sudah lama berlalu ayo pak berantem dulu.

“Kalo piso cukurnya?”

“Gimana, Pak?”

“Kalo piso cukurnya ada diskon nggak?”

Aku diam, senyum. Bapaknya mau bercanda.

“Taun lalu juga piso cukurnya nggak ada diskon. Soda ini kan taun lalu udah ada. Nah tahun ini harusnya gantian piso cukur, dong, Mbak.”

Aku senyum. Bapaknya baru mau diam.

“Enam puluh enam ribu rupiah, Bapak.”

“Oh cuma segitu…” katanya. Menggumam. Huruf U hampir hilang sebelum pada telingaku dia sampai.

Diberikannya uang utuh seratus ribuan. Kusodorkan kembalian.

“Terimakasih, Bapak.” Cepat pulang ke rumah sana ya.

_

Selanjutnya, seorang gadis muda dengan kerudung instan dan jaket kaos yang mungkin fungsinya menutupi lengan, karena sepertinya dia hanya pakai baju lengan pendek, atau pendek lengan, terserah. Matanya kuyu direbus layar smartphone dari tadi, awal mengantri berpuluh-puluh menit yang lalu. Biar kutebak, dia ini anak kostan. Sekunci alumunium merk Yale yang diikat dengan tali sepatu –kalau benar tebakanku tali sepatu, supaya menyerupai kalung itu menggantung di lehernya. Tapi tempat kalung itu menggantung tidak kelihatan olehku, kerudung abu-abu itu menutupinya dari segala pandangan jahat. Semoga ia adalah seorang muslim taat.

Dipindahkannya secara asal-asalan belanjaannya dari merahnya keranjang. Tidak jauh-jauh dari mi instan dan deterjen dan facial foam. Sebelas unit mi instannya itu melelahkanku. Telah dipilihnya, kesemuanya mi itu dengan aneka rasa yang berbeda. Beragam, macam kebudayaan Indonesia. Rasa sambal matah, ayam rica-rica, rendang tanpa lengkuas, rasa soto lamongan, soto boyolali, cumi asam-asam, ayam kremes, sate pandang, rasa yang lezat-lezat, rasa yang hebat-hebat. Tidak perlu rasanya aku peringatkan si gadis malang ini tentang judul yang tertera di bungkus-bungkus mi-nya, peringatan kalau itu hanya perisa, difiks-kan oleh penguat rasa, tidak lain kolaborasi antara mononatrium glutamat, dinatrium inosinat, guanilat, serta hal-hal tidak sehat. Tiadalah ia akan temukan sesuir daging rendang pun menghiasi makan siangnya di suatu waktu.

40.300 rupiah total yang harus ia bayar biar bisa membawa belanjaan logistiknya. Ingin aku tuntaskan 300 rupiah itu untuk si gadis yang pasti keadaan miskin sering melanda hari-harinya. Tapi tidak bisa. Semuanya akan dipertanggung jawabkan, semua akan dipermasalahkan kalau keuangannya mencurigakan. Aku cari aman. Toh hidup ini sudah susah. Toh aku sudah lapar selapar-lapar-laparnya.

Mengiang di ingatku apa yang kukonsumsi tadi pagi. Hanya semolen pisang yang kubeli di warung depan, seribuan. Lalu sarapan singkat itu kusudahi dengan air putih dan tolak angin yang masuknya obat warung ke tenggorokanku itu kurutinkan. Hitung-hitung buat badan segar. Hitung-hitung aku telah mensukseskan jargonnya tentang orang pintar.

InsyaAllah, aku orang pintar. Meski sekarang hanya sedang lapar.

Gadis miskin itu beranjak. Ketahanan terhadap perut yang melompong belum selesai diuji. Kali ini, ibu-ibu dengan empat keranjang belanjaan siap menjerang perutku, sekali lagi.

_

Tiga orang anak membuntut di belakang ibu itu, aku mau menamai sang ibu Masnah Wati. Sejujurnya aku teringat nama ibunya temanku, tapi tidak apalah semoga temanku itu tidak tahu. Bisa gawat aku. Tiga anak tadi riuh kembali membongkar-bongkar keranjang belanjaan ibunya, atau tantenya, tapi aku mendapati Bu Masnah Wati menua, dan sepertinya, anak-anak itu adalah cucunya.

Oh sial aku menebak-nebak, membuatku semakin lapar, lututku gemetar.

Barang yang pertama kuambil alih kendalinya adalah selusin deodorant sachet, menyatu dalam plastik bening tak kuning. Dapat ditebak, barang-barang yang ia beli sekarang peredarannya tidak akan dihentikan, akan mau saja itu belanjaan dia salurkan kepada orang-orang, para tetangga, piri titinggi, warga setempat, wirgi sitimpit, asalkan, ya asalkan, uang yang mereka tukarkan memenuhi nominal yang dia syaratkan.

Bu Masnah Wati tidak hanya berbelanja bersama cucu-cucunya, di belakangku, waktu kuambil serentet sabun cair aroma bawang putih, ada seorang ibu-ibu—kalau boleh kutebak— lebih tua tujuh tahun dari Bu Masnah Wati berdiri menunggu. Di muka pintu keluar keranjang belanjaan. Dia diam saja, tidak sedang mengantri, tidak juga mengusulkan Bu Masnah Wati tentang oren jus warna apa yang mau mereka ambil sebagai bonus karena telah membeli tujuh buah oren jus warna oren. Bu Masnah wati juga tidak mengajak berdiskusi, dia langsung meminta salah seorang cucunya cepat mengambilkan oren jus bonus.

Menunggu anak tadi, kupikir aku mulai tidak sadarkan diri. Sebelumnya, tidak pernah aku separah ini. Selain sarapan kurang, agaknya, payahnya hari ini disponsori oleh pertandingan sepakbola yang kutonton hingga larut semalam. Asalnya karena sampai wasit meniup pluit panjang, aku tidak menyaksikan sebuah gol di pertandingan itu. Jadi ketika ada pertandingan klub sepak bola lain, di channel lain, di belahan dunia yang lain, tidak ragu kutonton kotak televisiku. Aku kebelet berselebrasi. Jam setengah empat baru kudapati sebuah gol bunuh diri mengguncangku. Aku senang, tapi tidak tenang. Besok hari kerja.

Tapi sekarang tenang saja, masih tergapai olehku belanjaan Bu Masnah Wati. Ini yang terakhir, tiga buah agar-agar lima ribuan untuk ketiga cucuknya. Nah selesai. Plastik besar-besar siap dibawa pergi Bu Masnah wati dan keluarga. Dia membayar belanjaannya dengan uang banyak, aku mengembalikan sisanya, tidak sebanyak yang ia berikan tadi.

Ketiga cucu Bu Masnah Wati tergopoh-gopoh kebagian masing-masing plastik belanjaan. Sedang seorang ibu yang dari tadi berdiri di belakangku malah bergeming sama sekali. Dia santai-santai saja membiarkan adiknya—Bu Masnah wati kesusahan begitu.

Bu Masnah Wati lenyap dari ekor mata. Ibu itu masih di sini. Waduh aku salah sangka, dia bukan kakak-adiknya Bu Masnah Wati. Posisi Bu Masnah Wati tadi disubtitusi dengan bapak-bapak necis berkumis. Yang ia beli hanya sebungkus peniti merk beauty. Aku bernapas lega. Kantuk dan lapar menyerangku tiada kasihan, rasanya aku semakin tidak sadar.

Ketika kucari barcode bungkus peniti tadi, terasa olehku sebuah toelan di punggung, tidak begitu kuindahkan, sebab, kepada bapak bembeli aku ingin mengapresiasi—yang beliau beli hanya peniti. Sebuah toelan, yang membuat geli nan meresahkan mendarat kembali di punggungku. Dengan pak kumis aku selesai urusan. Kutoleh ada apa gerangan, dan… dia. Bu tua tadi.

Serta merta aku merasakan kehadirannya lagi.

“Mbak-mbak,” dia bersuara, tapi matanya kosong. Rambutnya kelabu, bibirnya kering, bajunya oh compang-camping.

“Ya bu, ada yang bisa saya bantu?” Aku penasaran.

“Beli teh kotak.”

“Apa?”

“Beli teh kotak, bukan yang botol. Ini uangnya.” Disodorkannya aku uang sejumlah 4500 rupiah. Kembar dua ribuan kucel dan sekoin 500-an pesing.

Di antara pergulatan kantuk dan lapar, di sela antrian manusia berduit yang mengular, seorang eyang sekonyong-konyong ingin teh kotak tanpa mengantri, tanpa mengambilnya sendiri?

Aku pingsan. Kantuk dan lapar menerbangkanku ke awang-awang.

_


foto diambil dari gugel. tapi lupa dari mana. ah pokonya credit belongs to the photographer.


Spaneng: pusing, rungsing, tegang, dll.

Mangkrak hampir 2 bulan.

Baru diselesaikan di Januari, tanggal 26, hehe. Sedang di Serang.


Terinspirasi dari suatu hari belanja yang lelah, di Luwes supermarket, dari antrian panjang pelanggan, penjaga kasir yang tampak tidak nyaman.

0 komentar:

Posting Komentar

Ad Banner

Ad Banner
keles

About me

Laman ini,

Biar jadi rumah para gerutu.

Keluhku pada langit abu-abu.