Kemarin sore, ketika matahari baru
saja berpikir untuk tumbang dan pepohon masih menembang nyanyi-nyanyian, aku
menemukan Arinda Maulida tengah terbenam dalam gundukan sepatu.
“Arinda Maulida…” Kataku menyapa. “Apa yang
sedang kau lakukan?”
“Membangun rumah.”
“Bagaimana dengan rumahmu di ujung
sana?” Aku menunjuk arah tumbangnya matahari.
Ia tertawa. “Tetap akan jadi
rumahku.”
Arinda kembali pada
sepatu-sepatunya. Ia menyusun tanpa letih, membangun pondasi dan lantai
dari utas-utas tali sepatu.
“Arinda, ada yang bisa kubantu?”
Kataku.
“Tidak. Tidak perlu. Percayalah, aku
bisa membangun sendiri rumahku.”
Maka kubiarkan Arinda bergelut
dengan rencananya lagi. Rumahnya berbentuk segitiga dengan alas yang lega. Semoga untuknya, tidak akan terjadi bencana.
“Duduklah di sana…” Kata Arinda
menunjuk selasar terbuka.
Aku menurut. Baiklah, akan
kuperhatikan bagaimana Arinda melanjutkan giatnya membangun rumah.
Arinda sudah sampai pada lantai dua.
Tapi ketika ia mau membangun dinding sebelah kiri, angin topan menerjang.
Arinda mendapati rumhanya berantakan. Kemudian ia tersenyum dan mencoba
membangun ulang.
Aku berdiri menyiagakan diri kalau-kalau ia butuh bantuan, tapi pola tangannya menghentikanku dan ia bilang
jangan.
Baiklah,
aku akan duduk dan memperhatikan kembali.
Arinda membangun alas dan pondasinya
lagi.
Kini ia telah sampai di lantai tiga,
tapi ketika ingin dibuatnya jendela, sebola batu raksasa menerjang, membuyarkan
sepatu-sepatu Arinda, material pembangun rumahnya terlempar ke segala arah.
Arinda mendapati rumahnya rusak parah.
“Arinda, maukah kau meminta padaku sebuah perlu?” Kataku dari jauh.
Arinda menggeleng. Ia mengumpulkan
bahan bangunannya lagi.
Dari jauh kulihat betapa Arinda
adalah seorang yang gigih.
Kuperhatikan bagaimana
tangan-tangannya terlatih membuat sisi dan sekat bagian kanan dan kiri. Kemudian
setelah waktu yang lama, sampailah Arinda pada bagian atap.
Namun lagi-lagi, ketika ia ingin
membangun cerobong asap, sebuah kaki dari langit menyenggol rumah hampir
jadinya, dan hancurlah semua-muanya.
“Arinda!” Kataku memastikan ia
baik-baik saja.
Kemudian dari jauh terdengar. “Aku
tidak apa-apa, kan kubangun lagi rumahku!”
Arinda menyingkirkan kaki dari
langit itu dan membangun rumahnya kembali. Kalau sampai sekali lagi bencana
terjadi, aku tidak peduli, kan kubantu Arinda untuk melindungi rumahnya dari
segala hal yang merusak.
Sepatu-sepatu merah, cokelat, dan
biru yang tidak sebagus awalnya itu bergerak-gerak dari tangan Arinda ke
bangunan segitiga menawan yang tengah dibangunnya.
Aku memperhatikan. Betapa
beruntungnya Arinda memiliki keterampilan membangun rumah serta bakat mengolah
amarah.
Duduknya aku, menikmati proses
Arinda membangun rumah seraya menyanyikan lagu, menghantarkanku melihat sebuah
bangunan yang menakjubkan rupa.
“Kemarilah kau, rumahku sudah selesai!”
Kata Arinda. Aku melihat binar di matanya. Apa yang telah diusahakannya telah menemui
titik akhir dan bantahan tentang sesuatu yang mustahil.
“Arinda, betapa kau tak pernah
lelah.”
Arinda berseri-seri. “Bertamulah ke
rumahku yang baru dengan rangkaian sepatu, duduk di ruang tamu, dan kan
kubuatkan kau segelas teh atau jamu.(*)
____
Illustrations by unknown artist...
Terinspirasi dari kisah nyata.
Terinspirasi dari kisah nyata.
Seorang
Arinda Maulida.
Tiga hari lalu. Jumat agaknya sore itu.
7 November 2016
0 komentar:
Posting Komentar