Senin, 07 November 2016

Arinda Maulida yang Tidak Pernah Lelah Membangun Rumah


      Kemarin sore, ketika matahari baru saja berpikir untuk tumbang dan pepohon masih menembang nyanyi-nyanyian, aku menemukan Arinda Maulida tengah terbenam dalam gundukan sepatu.




            “Arinda Maulida…” Kataku menyapa. “Apa yang sedang kau lakukan?”

            “Membangun rumah.”

            “Bagaimana dengan rumahmu di ujung sana?” Aku menunjuk arah tumbangnya matahari.

            Ia tertawa. “Tetap akan jadi rumahku.”

            Arinda kembali pada sepatu-sepatunya. Ia menyusun tanpa letih, membangun pondasi dan lantai dari utas-utas tali sepatu.

            “Arinda, ada yang bisa kubantu?” Kataku.

            “Tidak. Tidak perlu. Percayalah, aku bisa membangun sendiri rumahku.”

            Maka kubiarkan Arinda bergelut dengan rencananya lagi. Rumahnya berbentuk segitiga dengan alas yang lega. Semoga untuknya, tidak akan terjadi bencana.

            “Duduklah di sana…” Kata Arinda menunjuk selasar terbuka.

            Aku menurut. Baiklah, akan kuperhatikan bagaimana Arinda melanjutkan giatnya membangun rumah.

            Arinda sudah sampai pada lantai dua. Tapi ketika ia mau membangun dinding sebelah kiri, angin topan menerjang. Arinda mendapati rumhanya berantakan. Kemudian ia tersenyum dan mencoba membangun ulang.

            Aku berdiri menyiagakan diri kalau-kalau ia butuh bantuan, tapi pola tangannya menghentikanku dan ia bilang jangan.

            Baiklah, aku akan duduk dan memperhatikan kembali.

            Arinda membangun alas dan pondasinya lagi.

            Kini ia telah sampai di lantai tiga, tapi ketika ingin dibuatnya jendela, sebola batu raksasa menerjang, membuyarkan sepatu-sepatu Arinda, material pembangun rumahnya terlempar ke segala arah. Arinda mendapati rumahnya rusak parah.

            “Arinda, maukah kau meminta padaku sebuah perlu?” Kataku dari jauh.

            Arinda menggeleng. Ia mengumpulkan bahan bangunannya lagi.

            Dari jauh kulihat betapa Arinda adalah seorang yang gigih.

            Kuperhatikan bagaimana tangan-tangannya terlatih membuat sisi dan sekat bagian kanan dan kiri. Kemudian setelah waktu yang lama, sampailah Arinda pada bagian atap.

            Namun lagi-lagi, ketika ia ingin membangun cerobong asap, sebuah kaki dari langit menyenggol rumah hampir jadinya, dan hancurlah semua-muanya.



            “Arinda!” Kataku memastikan ia baik-baik saja.

            Kemudian dari jauh terdengar. “Aku tidak apa-apa, kan kubangun lagi rumahku!”

            Arinda menyingkirkan kaki dari langit itu dan membangun rumahnya kembali. Kalau sampai sekali lagi bencana terjadi, aku tidak peduli, kan kubantu Arinda untuk melindungi rumahnya dari segala hal yang merusak.

            Sepatu-sepatu merah, cokelat, dan biru yang tidak sebagus awalnya itu bergerak-gerak dari tangan Arinda ke bangunan segitiga menawan yang tengah dibangunnya.

            Aku memperhatikan. Betapa beruntungnya Arinda memiliki keterampilan membangun rumah serta bakat mengolah amarah.

            Duduknya aku, menikmati proses Arinda membangun rumah seraya menyanyikan lagu, menghantarkanku melihat sebuah bangunan yang menakjubkan rupa.

            “Kemarilah kau, rumahku sudah selesai!” Kata Arinda. Aku melihat binar di matanya. Apa yang telah diusahakannya telah menemui titik akhir dan bantahan tentang sesuatu yang mustahil.

            “Arinda, betapa kau tak pernah lelah.”

            Arinda berseri-seri. “Bertamulah ke rumahku yang baru dengan rangkaian sepatu, duduk di ruang tamu, dan kan kubuatkan kau segelas teh atau jamu.(*)




____

Illustrations by unknown artist...

Terinspirasi dari kisah nyata.

Seorang Arinda Maulida.

Tiga hari lalu. Jumat agaknya sore itu.


7 November 2016
           


0 komentar:

Posting Komentar

Ad Banner

Ad Banner
keles

About me

Laman ini,

Biar jadi rumah para gerutu.

Keluhku pada langit abu-abu.