Selasa, 15 Juli 2014

Kalau Kuredam Amarahku



Aku mendidih. Pembuluh darahku menegang.
Aku tahu aku murka. Pernah semarah ini aku sebelumnya.

Tapi pernyataan tentang mendidihnya aku sungguhan. Aku memang semarah ini sekarang.
Dan semesta tahu? Penyebab kemurka-anku tentu orang bodoh.
Mereka bodoh, semesta. Mereka bodoh.
Aku tahu mereka tidak lebih tinggi dariku. Mereka benar-benar bodoh.
Maka dari itu, kuputuskan untuk meredam amarahku.

Tapi sayangnya itu tidak mudah, aku harus mengungkung diriku untuk mendamaikan atmosfer itu.
Dan aku berulang-ulang meyakinkan diriku, apabila aku menunjukan murkaku, maka aku mungkin lebih bodoh dari mereka.

Benar mereka sebodoh itu, semesta. Mereka membuatku sangat marah. Sangat. Dan seharusnya mereka tahu bahwa tidak mudah untuk mengendali amarah.
Apalagi perihal aku.

Maka ketika aku mendengar pernyataan yang mendidihkan darahku, aku merangkul erat hatiku.
“Jangan, jangan tunjukan. Kau terlalu mulia untuk itu.”

Aku tahu mereka semesta. Mereka yang hatinya ringkih dan terlihat menyedihkan. Mudah mempermalukan diri mereka sendiri dengan menangis keras-keras ketika hati mereka hanya tergores ujungnya.

Dan aku menertawakan mereka seraya berjengit muak. Serendah itukah mereka?

Bukan aku mengangkat diriku tinggi-tinggi dan lantas mengecam mereka bodoh, semesta. Tapi memang itu adanya. Betapa mereka menunjukan bahwa derajat hanya ditunjukan dengan tangis keras-keras, harta memuakan, dan kata-kata yang tidak sepadan.

Aku percaya semesta, kekayaan materi seseorang sangat bisa berubah. Dan betapa yakinnya aku akan hal itu. Lantas aku menjunjung itu dan memegangnya rapih-rapih.

Dan itu tidak sama dengan daya berpikir.

Tidak akan berkembang selama mereka menangis muak-muak, dan terdengar sepenjuru lenggang.
Tidak.
Tidak akan.

Maka aku meredam murkaku. Hanya untuk satu tuju. Aku tidak serendah itu.
***

0 komentar:

Posting Komentar

Ad Banner

Ad Banner
keles

About me

Laman ini,

Biar jadi rumah para gerutu.

Keluhku pada langit abu-abu.