Aku
mendidih. Pembuluh darahku menegang.
Aku tahu aku
murka. Pernah semarah ini aku sebelumnya.
Tapi
pernyataan tentang mendidihnya aku sungguhan. Aku memang semarah ini sekarang.
Dan semesta
tahu? Penyebab kemurka-anku tentu orang bodoh.
Mereka
bodoh, semesta. Mereka bodoh.
Aku tahu
mereka tidak lebih tinggi dariku. Mereka benar-benar bodoh.
Maka dari
itu, kuputuskan untuk meredam amarahku.
Tapi
sayangnya itu tidak mudah, aku harus mengungkung diriku untuk mendamaikan
atmosfer itu.
Dan aku
berulang-ulang meyakinkan diriku, apabila aku menunjukan murkaku, maka aku
mungkin lebih bodoh dari mereka.
Benar mereka
sebodoh itu, semesta. Mereka membuatku sangat marah. Sangat. Dan seharusnya
mereka tahu bahwa tidak mudah untuk mengendali amarah.
Apalagi
perihal aku.
Maka ketika
aku mendengar pernyataan yang mendidihkan darahku, aku merangkul erat hatiku.
“Jangan, jangan tunjukan. Kau terlalu mulia
untuk itu.”
Aku tahu
mereka semesta. Mereka yang hatinya ringkih dan terlihat menyedihkan. Mudah
mempermalukan diri mereka sendiri dengan menangis keras-keras ketika hati
mereka hanya tergores ujungnya.
Dan aku
menertawakan mereka seraya berjengit muak. Serendah itukah mereka?
Bukan aku
mengangkat diriku tinggi-tinggi dan lantas mengecam mereka bodoh, semesta. Tapi
memang itu adanya. Betapa mereka menunjukan bahwa derajat hanya ditunjukan
dengan tangis keras-keras, harta memuakan, dan kata-kata yang tidak sepadan.
Aku percaya
semesta, kekayaan materi seseorang sangat bisa berubah. Dan betapa yakinnya aku
akan hal itu. Lantas aku menjunjung itu dan memegangnya rapih-rapih.
Dan itu
tidak sama dengan daya berpikir.
Tidak akan
berkembang selama mereka menangis muak-muak, dan terdengar sepenjuru lenggang.
Tidak.
Tidak akan.
Maka aku
meredam murkaku. Hanya untuk satu tuju. Aku
tidak serendah itu.
***
0 komentar:
Posting Komentar