Ini memang kutulis waktu pagi.
Saat banyak pemikiran bisa tumbuh lebat dan segar dalam kepalaku
Ketika aku bisa memanen pikiran itu,
Menyimpannya dalam keranjang; komputerku
Satu-satunya media terbesarku, dalam berkebun setiap waktu-Random Thought itu.
Aku tujuh belas, tengah merasa ‘tidak terlalu buruk’ dalam menulis,
dalam memainkan tekniknya.
Dalam menyelip-mengelembungkan kosa kata
Dalam bercerita kala banyak ide
Tapi aku juga pernah berpikir, mungkin saja aku juga bisa menggambar.
Goresan drawing pen-ku di
kertas tidak terlalu buruk,
Walau kadang-kadang malah sangat buruk.
Sampai aku ingin menangis.
Tapi mungkin,
Mungkin,
Aku berandai-andai, kalau saja, dari dulu aku tahu aku harus apa.
Kalau saja dari umurku tujuh atau delapan, aku bisa menerawang lima
belasku, sedang tertarik akan apa.
Tidak bisa tidur memikirkan apa.
Gambar orang-orang.
Di instagram. Di pameran-pameran.
Yang menakjubkan, yang lekukan garisnya bahkan tak pernah kubayangkan!
Aku sakit kepala.
Gambarku payah, pensil kayuku patah.
Aku tidak pernah tahu bagaimana memindahkan sajian gambar dari berbagai
sisi.
Selalu dari depan gambarku.
Selalu dalam presisi yang paling mudah –yang tidak perlu keterampilan
menjelajah
Aku lelah, aku hampir pasrah.
Kemudian keluh kesahku mengingatkanku pada ayah –kemampuannya menggambar.
Masa sekolah dasarku, ketika aku mendesaknya untuk menggambarkan
sesuatu, biar ada kebanggaan dalam diriku, karya tangan ayahku, kujual lima
ratus rupiah kala itu.
“Ini gambar ayahku, kalau mau yang lain lagi, biar kubilang setelah
ini.”
Beberapa temanku setuju.
Pada ayah kuminta ia menggambar lagi.
Lagi. Lagi.
Ayah selalu belajar. Ia membuatku bangga.
Digambarnya petak sawah. Pohon kelapa. Saung dari bambu. Api unggun.
Sungai.
Panorama.
Mungkin karena ayah banyak menghabiskan waktunya di desa, jadilah itu
yang selalu digambarnya.
Aku menirunya. Membuat terasering sawah dengan arsiran khasnya. Membuat
daun kelapa yang melengkung seperti yang ia punya.
Ketika persis, aku bersuka! Ayah,
gambarku sama istimewanya.
Waktu bergulir terus.
Dalam hidup, kita tidak pernah tahu apa yang terjadi.
Menggambarku jadi sangat jarang dilakoni. Jarang sekali. Krayon dua
belas warnaku patah dan patahannya terlempar ke kolong buffet atau lemari kaca.
Aku tidak berusaha mengumpulkannya kembali.
Biarlah, kegiatan menggambar jadi masa lalu.
Aku lebih senang menulis –pikirku kala itu
Aku tujuh belas. Hampir gila ketika mencoba menggores tapi garisku tidak
sempurna. Tidak seistimewa yang selama ini kuimpikan.
Aku ingin bisa menggambar! Sialan, waktu telah kubuang-buang.
Maka kumulai dari awal lagi.
Kupelajari sisi kanan dan kiri.
Tapi alangkah tidak mudah. Untuk yang kesekian kali aku gagal, kertas
gambarku kubola lagi. Ah!
Aku ingin kembali, aku ingin belajar membuat lingkaran lagi.
.
.
.
.
.
Menurut ilustrator terkemuka, mereka memang berusaha sangat keras untuk
ini.
Maka aku.
Jari-jari kotorku.
Harus lebih giat lagi.
Wajib lebih keras dari ini
Karena mimpi, harganya tak semurah kecapi.
Baiklah, kuselesaikan tulisanku yang ini dulu, lalu aku akan kembali,
menghadapi kertas-kertasku lagi.
Tunggu aku, Masa depan.
Akan kusibukkan diri dengan ilustrasi.
Doakan aku.
Semoga Tuhan juga menyertai mimpi orang-orang di sekelilingku.
Semoga.
November 2016
February 2017 when i posted this
0 komentar:
Posting Komentar