Minggu, 19 Februari 2017

Menyemogakan Mimpi


Selamat pagi.

Ini memang kutulis waktu pagi.

Saat banyak pemikiran bisa tumbuh lebat dan segar dalam kepalaku

Ketika aku bisa memanen pikiran itu,

Menyimpannya dalam keranjang; komputerku

Satu-satunya media terbesarku, dalam berkebun setiap waktu-Random Thought itu.

Aku tujuh belas, tengah merasa ‘tidak terlalu buruk’ dalam menulis, dalam memainkan tekniknya.

Dalam menyelip-mengelembungkan kosa kata

Dalam bercerita kala banyak ide

Tapi aku juga pernah berpikir, mungkin saja aku juga bisa menggambar.

Goresan drawing pen-ku di kertas tidak terlalu buruk,

Walau kadang-kadang malah sangat buruk.

Sampai aku ingin menangis.

Tapi mungkin,

Mungkin,

Aku berandai-andai, kalau saja, dari dulu aku tahu aku harus apa.

Kalau saja dari umurku tujuh atau delapan, aku bisa menerawang lima belasku, sedang tertarik akan apa.

Tidak bisa tidur memikirkan apa.

Gambar orang-orang.

Di instagram. Di pameran-pameran.

Yang menakjubkan, yang lekukan garisnya bahkan tak pernah kubayangkan!

Aku sakit kepala.

Gambarku payah, pensil kayuku patah.

Aku tidak pernah tahu bagaimana memindahkan sajian gambar dari berbagai sisi.

Selalu dari depan gambarku.

Selalu dalam presisi yang paling mudah –yang tidak perlu keterampilan menjelajah
Aku lelah, aku hampir pasrah.

Kemudian keluh kesahku mengingatkanku pada ayah –kemampuannya menggambar.

Masa sekolah dasarku, ketika aku mendesaknya untuk menggambarkan sesuatu, biar ada kebanggaan dalam diriku, karya tangan ayahku, kujual lima ratus rupiah kala itu.

“Ini gambar ayahku, kalau mau yang lain lagi, biar kubilang setelah ini.”

Beberapa temanku setuju.

Pada ayah kuminta ia menggambar lagi.

Lagi. Lagi.

Ayah selalu belajar. Ia membuatku bangga.

Digambarnya petak sawah. Pohon kelapa. Saung dari bambu. Api unggun. Sungai.
Panorama.

Mungkin karena ayah banyak menghabiskan waktunya di desa, jadilah itu yang selalu digambarnya.

Aku menirunya. Membuat terasering sawah dengan arsiran khasnya. Membuat daun kelapa yang melengkung seperti yang ia punya.

Ketika persis, aku bersuka! Ayah, gambarku sama istimewanya.

Waktu bergulir terus.

Dalam hidup, kita tidak pernah tahu apa yang terjadi.

Menggambarku jadi sangat jarang dilakoni. Jarang sekali. Krayon dua belas warnaku patah dan patahannya terlempar ke kolong buffet atau lemari kaca.

Aku tidak berusaha mengumpulkannya kembali.

Biarlah, kegiatan menggambar jadi masa lalu.

Aku lebih senang menulis –pikirku kala itu

Aku tujuh belas. Hampir gila ketika mencoba menggores tapi garisku tidak sempurna. Tidak seistimewa yang selama ini kuimpikan.

Aku ingin bisa menggambar! Sialan, waktu telah kubuang-buang.

Maka kumulai dari awal lagi.

Kupelajari sisi kanan dan kiri.

Tapi alangkah tidak mudah. Untuk yang kesekian kali aku gagal, kertas gambarku kubola lagi. Ah!

Aku ingin kembali, aku ingin belajar membuat lingkaran lagi.

.
.
.
.
.

Menurut ilustrator terkemuka, mereka memang berusaha sangat keras untuk ini.

Maka aku.

Jari-jari kotorku.

Harus lebih giat lagi.

Wajib lebih keras dari ini

Karena mimpi, harganya tak semurah kecapi.

Baiklah, kuselesaikan tulisanku yang ini dulu, lalu aku akan kembali, menghadapi kertas-kertasku lagi.

Tunggu aku, Masa depan.

Akan kusibukkan diri dengan ilustrasi.

Doakan aku.

Semoga Tuhan juga menyertai mimpi orang-orang di sekelilingku.

Semoga.


November 2016


February 2017 when i posted this

0 komentar:

Posting Komentar

Ad Banner

Ad Banner
keles

About me

Laman ini,

Biar jadi rumah para gerutu.

Keluhku pada langit abu-abu.